Asyiknya Naik Kereta Api Sri Lelawangsa Medan-Binjai

Oleh: Setiadi R. Saleh    

Minggu 9 September 2012. Tanggal 9 bulan 9 bertepatan pula dengan ulang tahun Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono. Pagi itu matahari malu-malu dan sinarnya pelan-pelan merengkuh bumi. Suasana Kota Medan sejuk sekali, setelah sepanjang malam hujan terus-menerus tanpa henti barang sesapuan.

Siang ini kami berencana naik kereta api ke Binjai. Perbekalan secukupnya telah kami siapkan. Baju ganti, makanan ringan, air mineral, dan minyak kayu putih.
Kami pergi berdelapan: saya sebagai yang dituakan, kemudian istri dan kedua anak kami. Lalu satu keluarga lagi, jumlahnya empat orang juga, total keseluruhan ada 8 orang, 4 orang dewasa dan 4 anak-anak.

Setelah berkemas-kemas, sekitar jam 10 pagi kami berangkat. Dari rumah naik angkutan umum nomor 45 menuju stasiun besar Kota Medan. Angkot bergerak dari Jalan Setia Luhur, lajunya perlahan sekali, lalu melewati Jalan Kapten Muslim, kemudian Gatot Subroto, lalu simpang Darussalam Jalan Ayahanda, Simpang Barat, lalu masuk ke arah Pajak Petisah, setelah itu lewat Jalan Gajah Mada Gramedia, Sei Deli, Guru Patimpus, dan Balai Kota Jalan A. Yani [Kesawan], melewati kantor pos, lapangan Merdeka, baru kemudian sampai di stasiun besar kereta api Medan sekitar jam 11 siang.

Turun dari angkutan umum. Wajah anak-anak ceria. Tidak sedikitpun terlihat wajah lesu. Tiket kami beli seharga Rp. 5000/orang. Kereta baru akan datang dari Binjai jam 12.30 untuk keberangkatan jam 13.00. Ada jeda waktu yang panjang sekali.
Guna mengisi waktu dan mengusir rasa jenuh. Anak-anak kami bawa ke lapangan Merdeka bermain perosotan, panjat batu, dan permainan lainnya. Di lapangan Merdeka banyak anak-anak kecil yang bermain. Tak ketinggalan, pedagang jualan makanan seperti: sate kerang, sate jengkol, sate telur puyuh, peyek, dan pedagang minuman. Sesekali merpati warna-warni, coklat, putih, abu-abu, hitam terbang berputar mencari sandaran dahan.
Stasiun Besar terletak di depan kios-kios buku yang ada di Lapangan Merdeka. Saya menyempatkan diri melihat buku-buku. Dulunya pedagang buku ini berjualan di Titi Gantung [tigan]. 17 tahun silam [1995-2012] koleksi buku-buku di Titi Gantung masih bervariasi terutama buku-buku antik, kuno, buku lama yang lawas. Sekarang sama sekali sirna dan tidak ada menariknya lagi.

Anak-anak asyik bermain di lapangan Merdeka. Mereka memanjat, meluncur, bergelantungan di tali-tali tambang, tertawa, berlompatan saling berebut seluncuran. Di bawah pohon rindang sepasang muda-mudi saling menggenggam tangan, membenamkan rasa, mengobarkan cinta. Sesekali yang laki-laki membelai rambut sang gadis. Dan sang gadis membalasnya dengan tatapan lembut. Api asmara sudah menjalar, tidak peduli orang sekisar. Mereka asyik-masyuk melambungkan hasrat.

Jam 12.00, tidak terasa 1 jam menghabiskan waktu di Lapangan Merdeka. Anak-anak sudah mulai lapar dan haus. Kami berjalan menuju stasiun. Antrean orang sudah ramai dan siap-siap masuk ke pintu utama. Stasiun kereta api sekarang lebih bersih. Penumpang tidak boleh ada yang berdiri. Pedagang asongan tidak diizinkan naik di atas kereta. Khusus untuk perjalanan jauh semisal dari Medan-Kisaran, Tanjung Balai, Rantau Prapat, tiket harus sesuai dengan KTP.

* * *
Stasiun Kereta Peron 3, Binjai Kami Datang!
Pagi tadi sejuk sekali, sekarang terasa panas meranggas. Bangku-bangku tunggu dipenuhi orang. Kami mencari bangku lain untuk rehat sejenak. Anak-anak senantiasa ceria. Sembari ngobrol santai, sekali-kali kami menikmati perbekalan seadanya seperti roti bungkus, kue dan air minum.

Dari kejauhan sudah terdengar klakson kereta api. Kereta berhenti, dan orang berhamburan. Penumpang naik dan penumpang yang akan keluar berebut. Satu ingin masuk, satu ingin keluar. Kami menempati gerbong urutan paling belakang. Jumlah gerbong kira-kira ada 6 gerbong. Satu gerbong muat sekitar 30 orang bangku duduk dan ada pegangan tali untuk orang yang berdiri.

Terbaca sekilas gerbong kereta buatan PT. INKA. Di dalam gerbong kereta bersih. Ada tong sampah. Kaca-kaca tampak bening dan kinclong. Dan kereta api berjalan. Pintu otomatis tertutup. Anak-anak bersemangat kegirangan.

“Hore-hore, kereta apinya jalan.” Pertama pelan kemudian kencang dan lebih kencang dari sebelumnya. Anak-anak tidak dapat duduk barang sejenak. Mereka terus saja menikmati angin, memandang keluar jendela. Kadang anak-anak bermain di lorong kereta api. Begitu pun dengan penumpang lain yang membawa anak kecil. Mereka pun sibuk mengawasi anak. Asyiknya jalan-jalan naik kereta api adalah anak-anak tidak terbebani oleh jarak tempuh. Tidak mual, mabok perjalanan seperti memakai kendaraan umum.

Sepanjang perjalanan dari Medan-Binjai tampaklah perumahan penduduk di pinggir rel. Meski mereka hidup di tepi rel, bangunan rumah mereka tampak bagus, beratap, berjendela pintu, punya sepeda motor, punya angkot. Tinggal di pinggir rel masih lebih laik ketimbang harus berumah di bawah titi dan jembatan layang, jalan tol atau di tubir pinggir sungai. Sesekali bentangan sawah terlihat, lalu pabrik karet, pabrik gula. Dan burung-burung bangau putih, dan burung-burung pipit kecil menyatu utuh dalam pandangan.
Dengus suara kereta api melaju kencang. Klaksonnya terus bergema. Meski di luar tampak panas dan matahari bersinar sombong. Angin membawa kesejukan menerobos  jendela kereta. Ada terasa haus dan ingin makan camilan kudapan ringan. Di dalam  kereta tidak ada lagi pedagang asongan. Jadi, jika naik kereta api perlu siap-siap membawa perbekalan terutama untuk mereka yang menempuh perjalan jauh semisal ke Kisaran, Tanjung Balai dan Rantau Prapat.

Dan waktu sudah berjalan 45 menit sampai akhirnya tidak terasa, tau-tau sudah sampai di stasiun Binjai. Senang dan bahagia rasanya, selamat sampai di tujuan.

* * *
Rehat Sejenak di Masjid Agung Binjai
Waktu Zuhur sudah lewat satu jam. Dari stasiun Binjai kami meneruskan perjalanan naik becak mesin [sekarang disebut betor-becak motor] ke arah Masjid Agung Binjai. Ongkos becak 5000 rupiah.

Setibanya di Masjid Agung, tempatnya teduh sekali. Kami istirahat, shalat, dan rebahan sekejap lalu makan nasi bontot, kwetiaw, es dawet, dan menikmati air putih yang terasa menyegarkan.

Shalat pun entah khusyuk, entah tidak, berusaha untuk menikmati shalat saja. Mudah-mudahan di usia yang mencapai kepala empat, Tuhan tidak lagi menjadi pertanyaan seperti: mengapa mengangkat takbir harus mengucapkan Allah Akbar, Allah Mahabesar, memangnya jika Mahakecil bukan Tuhan. Apakah Tuhan ada di dalam ruang, apakah ada di dalam waktu. Sungguh waktu dan ruang adalah buatan Tuhan, Allah SWT meliputi segala sesuatu dan tidak menyerupai segala sesuatu.

* * *

Bermain-Bergembira
Tujuan naik kereta api Medan-Binjai untuk mengenalkan kepada anak-anak bagaimana asyiknya naik kereta api. Dan memang mereka senang sekali, begitu turun di stasiun kereta sudah minta naik kereta lagi.

Setelah perut kenyang dan pikiran segar kembali. Kami meneruskan aktifitas liburan ke Binjai Super Mall [BSM] letaknya bersebelahan dengan Masjid Agung Binjai. Di sini anak-anak bermain wahana permainan petualang. Anak-anak diharuskan memakai kaus kaki supaya properti mainan tidak kotor. Bagi orangtua yang melihat barangkali biasa saja. Bagi anak-anak sangat istimewa, mereka berlari, menaiki tangga bertali, lalu turun di seluncuran bergetar. Kemudian naik lagi melewati terowongan. Sesekali berhias tawa. Anak-anak yang lain pun tidak kalah gesit. Mereka mandi bola, naik ayunan gantung, lalu berteriak kegirangan. Lampu-lampu di wahana permainan menambah semarak suasana. Senang rasanya melihat anak-anak bisa tertawa bergembira. Apalagi hari ini mereka dibebaskan dari rutinitas.

Mengingat kereta api dari Medan akan datang jam 15.30 untuk keberangkatan jam 16.00 dari Binjai. Kami bersiap-siap meluncur kembali ke stasiun kereta Binjai. Di situ sudah ramai orang, lebih ramai dari tadi siang. Lucunya lagi penumpang yang tadi kami pergi dari Medan ke Binjai, sekarang balik lagi dari Binjai-Medan. Orangnya sama, satu gerbong pula lagi. Kalau tadi pergi ke Binjai duduk di gerbong urutan belakang. Sekarang pulang ke Medan, duduk di gerbong urutan paling depan. Di sini asyiknya, kami bisa melihat ke ruang kabin tempat masinis bekerja menjalankan kereta api.
Pemandangan yang luar biasa. Orang-orang yang duduk di pinggir rel berlari mendengar suara klakson kereta. Anjing, kucing pun lintang-pukang. Ibu-ibu menjerit menarik anaknya agar tak tergilas  Sesekali masinis tertegun melihat keadaan seperti itu. Suara klakson kereta nyaris tiada henti mengingatkan orang-orang yang tinggal di pinggir rel agar berhati-hati, si “naga besi” siap beraksi!

Satu hal yang membuat anak-anak senang adalah nenek sudah menunggu. Siap-siap melambaikan tangan. Kebetulan rumah nenek di Medan dekat rel kereta api dipisahkan oleh sawah, bukan di pinggir rel. Anak-anak melongok ke luar jendela. Mengira-ngira di mana tepatnya rumah nenek, jangan sampai terlewat barang sejengkal pun.
Begitu tanda-tanda rumah nenek sudah dekat dan lampu neng-nong rel kereta api di Jalan Asrama sudah berbunyi dan masjid biru mulai terlihat. Anak-anak mulai sibuk.
“Nenek-nenek.” Teriak anak-anak girang. Suara nenek tidak terdengar. Dari senyumnya, dari pancaran wajahnya, dan dari lambaian tangannya, terasa sekali betapa cinta nenek begitu membekas di hati kami. Lambaian nenek dalam sekilas hilang terbang terbawa laju kereta yang terus meluncur menuju Medan. 

Sampailah kami di stasiun Medan. Matahari petang terang-benderang. Panasnya hangat. Meski kelihatan lelah anak-anak sangat senang. Berbekal uang Rp. 50.000 sudah bisa jalan-jalan menikmati asyiknya naik kereta api Lelawangsa Medan-Binjai. Bagi orangtua mungkin biasa saja, bagi anak-anak pengalaman ini terus saja diingat oleh mereka dan menjadi cerita tersendiri di antara teman-teman mereka.[]   







Comments